Suku Tengger adalah sebuah suku yang
tinggal di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur, yakni menempati sebagian wilayah
Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Malang.
Menurut mitos atau legenda yang
berkembang di masyarakat suku Tengger, mereka berasal dari keturunan Roro
Anteng yang merupakan putri dari Raja Brawijaya dengan Joko Seger putra seorang
Brahmana. Nama suku Tengger diambil dari akhiran nama kedua pasang suami istri
itu yaitu, “Teng” dari Roro Anteng dan “Ger” dari Joko Seger. Legenda tentang
Roro Anteng dan Joko Seger yang berjanji pada Dewa untuk menyerahkan putra
bungsu mereka, Raden Kusuma merupakan awal mula terjadinya upacara Kasodo di
Tengger.
Menurut beberapa ahli sejarah, suku
Tengger merupakan penduduk asli orang Jawa yang pada saat itu hidup pada masa
kejayaan Majapahit. Saat masuknya Islam di Indonesia (pulau Jawa) saat itu
terjadi persinggungan antara Islam dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa,
salah satunya adalah Majapahit yang merasa terdesak dengan kedatangan pengaruh
Islam, kemudian melarikan diri ke wilayah Bali dan pedalaman di sekitar Gunung
Bromo dan Semeru. Mereka yang berdiam di sekitar pedalaman Gunung Bromo ini
kemudian mendirikan kampung yang namanya diambil dari akhiran nama pemimpin
mereka yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.
KEADAAN GEOGRAFIS
Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan
utara ke selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian antara 1000m
- 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian dari empat kabupaten, yaitu :
Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya
bergunung-gunung dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah lautan
pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m, dengan panjang 5-10 km.
Kawah Gunung Bromo, dengan ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah
selatan menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
WILAYAH ADAT
Wilayah Adat Suku Tengger terbagi menjadi dua
wilayah yaitu Sabrang Kulon (Brang Kulon diwakili oleh Desa Tosari Kecamatan
Tosari Kabupaten Pasuruan )dan Sabrang Wetan ( Brang Wetan diwakili oleh Desa
Ngadisari,Wanantara,Jetak Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ).
Perwakilan oleh Desa T osari dan tiga Desa tersebut mengacu pada Prosesi
Pembukaan Upacara Karo yang sekaligus membukla Jhodang Wasiat / Jimat Klontong.
Adapun Desa – Desa yang merupakan Komunitas
Suku Tengger adalah Sebagai Berikut:
Desa Ngadas, Wanatara, Jetak, dan Ngadisari (
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ), Desa Wanakersa, Ledokombo,
Pandansari ( Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo ), Desa Tosari, Baledono,
Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan, Mororejo ( Kecamatan Tosari Kabupaten
Pasuruan ), Desa Keduwung ( kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan ), Desa
Ngadirejo, Ledok Pring ( Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan ), Desa Ngadas (
Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang),dan Desa Ranupani ( Kecamatan Senduro
Kabupaten Lumajang).
KEADAAN TANAH DAN TANAM-TANAMAN
Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti
pasir, namun cukup subur. Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah agathis
laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis leucaena, dan swietenia
altingia excelsa, anthocepalus cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi
pohon cemara sampai di ketinggian 3000 dpl yaitu lereng Gunung Semeru. Tumbuhan
utamanya adalah pohon-pohonan yang tinggi, pohon elfin dan pohon cemara,
sedangkan tanam-tanaman pertanian terutama adalah kentang, kubis, wortel,
jagung,bawang prei(plompong tengger) dsb.
JENIS HEWAN
Jenis hewan piaraan yang ada antara lain
lembu, kambing, babi dan ayam kampung. Jenis binatang yang hidup secara liar di
hutan-hutan adalah babi hutan (sus scrofa) rusa timur (cervus timorensis),
serigala atau (muncak muntiacus), dan berkembang pula jenis macam tutul
(panthera pardus), terdapat pula species burung-burungan, misalnya burung air.
IKLIM DAN CUACA
Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau.
Musim kemarau terjadi antara bulan Mei-Oktober. Curah hujan di Sukapura sekitar
1800 mm, sedangkan musim hujan terjadi pada bulan November-April, dengan
persentase 20 hari/lebih hujan turun dalam satu bulan. Suhu udara berubah-ubah,
tergantung ketinggian, antara 3º - 18º Celsius. Selama musim hujan kelembaban
udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari terasa sejuk, dan pada malam
hari terasa dingin. Pada musim kemarau temperatur malam hari terasa lebih
dingin daripada musim hujan. Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut tebal.
Di daerah perkampungan, kabut mulai menebal pada sore hari. Di daerah sekitar
puncak Gunung Bromo kabut mulai menebal pada pagi hari sebelum fajar
menyingsing.
AGAMA SUKU TENGGER
Masyarakat Suku Tengger menganut empat agama
dari lima agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Yaitu Agama Hindu ,
Islam ,Kristen dan Budha.
MATA PENCAHARIAN SUKU TENGGER
Penduduk di sekitar Taman Nasional Bromo
kurang lebih sebanyak 128.181 jiwa dengan distribusi sebagai berikut: petani
penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461 orang (8,16%), karyawan dan
ABRI 1.595 orang (1,24%), pedagang 3.009 orang (2,38%), pengrajin/industri
kecil 343 orang (0,01%), dan lain-lain sekitar 64.140 orang (50,05%). Penduduk
masyarakat Tengger pada umumnya bertempat tinggal berkelompok di bukit-bukit
mendekati lahan pertanian. Mereka hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan
pengairan tadah hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan
pokok, akan tetapi saat ini sudah berubah. Pada musim hujan mereka menanam
sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan wortel sebagai tanaman perdagangan.
Pada penghujung akhir musim hujan mereka menanam jagung sebagai cadangan
makanan pokok.
Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat
perkembangan penduduk Tengger tergolong lambat. Sejarah perkembangan masyarakat
Tengger tidak diketahui dengan jelas, kecuali secara samar sebagai hasil
penelitian Nancy (1985).
Masyarakat Tengger saat ini sudah ada yang
membuka usaha Jasa ( Persewaan Home Stay dan Jeep Hard Top sebagai transportasi
ke Bromo ),hal ini di lakukan semenjak Bromo di buka sebagai obyek wisata.
PEMIMPIN SUKU TENGGER
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal
dualisme kepemimpinan ,walaupun ada yang namanya Dukun adat. Tetapi secara
formal pemerintahan dan adat , Suku Tengger dipimpin oleh seorang Kepala Desa (
Petinggi ) yang sekaligus adalah Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan
sebagai pemimpin Ritual / Upacara Adat.
Proses pemilihan seorang Petinggi
,dilakukan dengan cara pemilihan langsung oleh masyarakat , melalui proses
pemilihan petinggi.
Sedang untuk pemilihan Dukun ,dilakukan
melalui beberapa tahapan – tahapan ( menyangkut diri pribadi calon Dukun ).yang
pada akhirnya akan diuji melalui ujian Mulunen ( ujian pengucapan mantra yang
tidak boleh terputus ataupun lupa ) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada
bertempat di Poten Gunung Bromo.
MAKANAN KHAS
Nasi ARON ( nasi yang terbuat dar jagung
tengger dengan masa tanam kurang lebih 8 bulan ).dan sambal Krangean bahannya
terbuat dari bahan sambal terasi seperti biasanya,hanya saja di tambah buah
Krangean ( hanya tumbuh di Tengger) bentuknya kecil seperti buah merica dan
baunya harum seperti daun kemangi,wananya hijau masih segar (baru petik) dan
hitam (klau sudah layu atau kering).
SIFAT DAN SIKAP SUKU TENGGER
SIFAT UMUM
Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger
mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah petani.
Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak yang berbukit-bukit.
Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri dari cangkul,sabit
dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi, kentang,
kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka bertempat tinggal jauh dari
ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk
berteduh sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan pagi
hingga petang hari di ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat
sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk perbaikan
rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Kehidupan
masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat yang telah diwariskan
oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam
melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala pelaksanaan adat, baik
mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai
tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh
dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah dapat
diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada masyarakat
tersebut dengan sistem musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup
diselesaikan oleh Petinggi ( Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila
cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru
(tidak diajak bicara) oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan
segala peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja
bakti dan sebagainya.
BAHASA TENGGER
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa
Jawa yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu
ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi
terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat
Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan
sama.
Contoh: Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku (
wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira , Kamu ( untuk yang lebih tua) =
Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk
ASAL - USUL SUKU TENGGER
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah
seperti terdapat pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di dunia ini
dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger memberi makna kepada aksara
Jawa yang mereka kembangkan. Adapun makna yang dimaksudkan adalah seperti
tersebut dibawah ini.
h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa
karsa,
d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi
laksana,
p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti
nyawiji,
m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul
ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang
lebih sebagai berikut: “Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan
kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk
melaksanakan lima perintah di dunia dengan kesungguhan hati, agar saling
terbuka tumbuh (berkembang) penuh kebebasan (ngakasa ‘menuju alam bebas
angkasa’)”.
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan
Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada menjadi ada atau dari alam gaib, untuk
mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima perintah-Nya dengan menyatukan
diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh keterbukaan dan perkembangan
menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara
Jawa yang dikaitkan dengan cerita tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada utusan,
yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran). Keduanya sama kuatnya
(sama-sama berjaya), yang akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu
menjadi mayat. Hal ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah,
sehat-sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan
hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan kedua hal itu.
Hubungan Badan dan Roh Menurut Falsafah
Tengger
Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan
manusia itu hanya merupakan pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus
yang bersifat abadi. Jika orang meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi),
sedangkan sukmanya terbebas dari mengalami suatu proses penyucian di dalam
neraka, dan selama itu mereka mengembara tidak mempunyai tempat berhenti.
Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua kejahatan yang
dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka
itu terdiri dari beberapa bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang
disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi
bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000 sesudah
kematian dan melalui upacara Entas-entas.
Hubungan Antar-manusia Menurut Falsafah
Tengger
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat
Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan sesanti
panca setia, yaitu:
i. setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;
ii. setya wacana artinya setia pada ucapan;
iii. setya semàya artinya setia padajanji;
iv. setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;
v. setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh
besar terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat,
tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung jawab.
umpamanya menunjukkan bahwa pada umumnya mereka bekerja di ladangnya dari jam 6
pagi sampai jam 6 sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong-royongnya
terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari, adalah sebagai
hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo
(tahun 1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan
sosial tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta menjaga keamanan, serta
merelakan sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan
menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima
orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai
dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada
sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu ngayomi, ngayani,
ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah, serta menciptakan
suasana tenteram dan damai.
3.4 SIKAP DAN PANDANGAN HIDUP
Pandangan tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger
tercermin pada harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra
(memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya
(menguasai ilmu dan teknologi, berpengetahuan dan terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang
disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
i. prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat
apa adanya;
ii. prayoga berarti senantiasa bersikap
bijaksana;
iii. pranata berarti senantiasa patuh pada
raja, berarti pimpinan atau pemerintah;
iv. prasetya berarti setya;
v. prayitna berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup
tersebut, masyarakat Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai
dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap
seperti kelima pandangan hidup tersebut, di samping dikembangkan pula sikap
lain sebagai perwujudannya.
Mereka mengembangkan sikap rasa malu
dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta dalam kegiatan
sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga pernah ada kasus (di Tosari)
seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam
kegiatan gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada
kenyataan bahwa mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun
kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama
yang telah dimiliki namun toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih
berorientasi pada tujuan, bukan pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya
manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya beraneka
warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal perkawinan, yaitu sikap orang
tua yang memberikan kebebasan bagi para putra-putrinya untuk memilih calon
istri atau suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap
dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah tangga dengan wanita atau
pria yang berlainan agama sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan adat, pada
umumnya para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan adat
kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang
penting adalah tata tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka
mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap mempertahankan tanah milik
secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya,
yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah
semata-mata hidup untuk mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan
tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam masyarakat Tengger
tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup
semata-marta diutamakan pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri
dari sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi
mudanya mampu mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai
anak yang memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem
jero, yaitu memuliakan orangtuanya.
Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik,
terbukti mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta
perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang lebih
baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus
kehidupan menurut pandangan masyarakat Tengger, yakni:
1. umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria),
dengan lambang bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan;
2. usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60
tahun lambing griasta, masa yang tepat untuk
membangun rumah dan mandiri;
3. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka,
membangun diri sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir
hidupnya.
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi
kalau masih mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang
dimaksudkan adalah hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan
masa dewasa menyiapkan dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
PERTUNANGAN DAN PERKAWINAN
Pada umumnya masyarakat Tengger
mempunyai pendirian yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian
boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Perkawinan di bawah umur juga jarang
terjadi. Dalam pertunangan (pacangan), lamaran dilakukan oleh orangtua pria.
Sebelumnya didahului dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa
senang kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak telah sepakat, maka
orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke orangtua pihak pria untuk
menanyakan persetujuannya atau notok. Selanjutnya apabila orangtua pihak pria
telah menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua pria untuk
menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan hari perkawinan yang disetujui
oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah
dimintakan nasihat kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu
dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan
tepat, ‘papan’ tempat pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari
untuk upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan
sajian bubur merah dan bubur putih).
Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka
pasangan pengantin diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis
dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin
wanita memberikan hadiah bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau,
rokok dan lain, sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah
keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin,
masing-masing pihak diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan
pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan disaksikan oleh seoran
dukun. Pada upacara pernikahan dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat
roh nenek moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.
Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten
pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
HAK WARIS
Pada dasarnya masyarakat Tengger
mempertahankan hak waris tanah untuk anak keturunan mereka saja. Apabila ada
keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga
yang terdekat. Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak
orang tua, bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan
TATA RUMAH
Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah,
yang sedapat mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa
dipilih tanah yang dapat dibuat teras, dan jauh dan gangguan angiñ. Rumah-rumah
letaknya berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki dan
berbagaf jurusanya yang dihubungkan
dengan jalan sempit atau gak lebar antara satu desa dengan desa lain. Desa
induk yang disebut Jcrajan biasa-nya terletak di tengah dengan jaringan
jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain.
Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan
selamatan, demikiah pula apabila bangunan telah selesai diadakan selamatan
lagi. Pada setiap bangunan yang sedang dikejakan selalu terdapat sesajen, yang
digantungkan pada tiang-tiang, berupa makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan
lain-lain. Bangunan rumah orang Tengger biasanya luas sebab pada umumnya dihuni
oleh beberapa keluarga bersama-sama, Ada kebiasaan bahwa seorang pria yang baru
saja kawin akan tinggal bersama mertuanya.
Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu
dan atapnya terbuat dan bambu yang dibelah. Setelah bahan itu sulit diperoleh,
dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu dengan menggunakan atap dan
seng, papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang
hingga sekarang pada umumnya masih tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan
yang ditaruh di depan rumah. Di dalam ruangan rumah itu disediakan pula tungku
perapian (pra pen) yang terbuat dan batu atau semen. Perapian ini kurang lebih
panjangnya 1/4 dari panjang ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat tempat
duduk pendek terbuat dari kayu (dingklik bhs jawa) yang meliputi kurang lebih
separuh dan seluruh ruangan. Apabila seorang tamu di terima dan dipersilakan
duduk di tempat ini menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh
bagi penghuni rumah, perapian juga dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau
bahan makan lainnya yang memerlukan pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat
tempat perapian itu terdapat pula alat-alat dapur, lesung, dan tangga. Halaman
rumah mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan. Di
halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk menggantungkan jagung yang
belum dikupas. Selain itu, sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung,
sehingga juga berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen mendatang.
UNSUR-UNSUR
KEBUDAYAAN
BAHASA
Bahasa yang
berkembang di masyarakat suku Tengger adalah bahasa Jawa Tengger yaitu bahasa
Jawi kuno yang diyakini sebagai dialek asli orang-orang Majapahit. Bahasa yang
digunakan dalam kitab-kitab mantra pun menggunakan tulisan Jawa Kawi. Suku
Tengger merupakan salah satu sub kelompok orang Jawa yang mengembangkan
variasai budaya yang khas. Kekhasan ini bisa dilihat dari bahasanya, dimana
mereka menggunakan bahasa Jawa dialek tengger, tanpa tingkatan bahasa
sebagaimana yang ada pada tingkatan bahasa dalam bahasa Jawa pada umumnya.
PENGETAHUAN
Pendidikan
pada masyarakat Tengger sudah mulai terlihat dan maju dengan dibangunnya
sekolah-sekolah, baik tingkat dasar maupun menengah disekitar kawasan Tengger.
Sumber pengetahuan lain adalah mengenai penggunaan mantra-mantra tertentu oleh
masyarakat Tengger.
TEKNOLOGI
Dalam
kehidupan suku Tengger, sudah mengalami teknologi komunikasi yang dibawa oleh
wisatawan-wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga cenderung menimbulkan
perubahan kebudayaan. Suku Tengger tidak seperti suku-suku lain karena
masyarakat Tengger tidak memiliki istana, pustaka, maupun kekayaan seni budaya
tradisional. Tetapi suku Tengger sendiri juga memiliki beberapa obyek penting
yaitu lonceng perungggu dan sebuah padasan di lereng bagian utara Tengger yang
telah menjadi puing.
RELIGI
Mayoritas
masyarakat Tengger memeluk agama Hindu, namun agama Hindu yang dianut berbeda
dengan agama Hindu di Bali, yaitu Hindu Dharma. Hindu yang berkembang di
masyarakat Tengger adalah Hindu Mahayana. Selain agama Hindu, agama laiin yang
dipeluk adalah agama Islam, Protestan, Kristen, dll. Berdasarkan ajaran agama
Hindu yang dianut, setiap tahun mereka melakukan upacara Kasono. Selain Kasodo,
upacara lain yaitu upacara Karo, Kapat, Kapitu, Kawulo, Kasanga. Sesaji dan
mantra amat kental pengaruhnya dalam masyarakat suku Tengger. Masyarakat
Tengger percaya bahwa mantra-mantra yang mereka pergunakan adalah mantra-mantra
putih bukan mantra hitam yang sifatnya merugikan.
ORGANISASI SOSIAL
-
PERKAWINAN
Sebelum ada Undang-Undang perkawinan banyak
anak-anak suku Tengger yang kawin dalam usia belia, misalnya pada usia 10-14
tahun. Namun, pada masa sekarang hal tersebut sudah banyak berkurang dan pola
perkawinannya endogami. Adat perkawinan yang diterapkan oleh siuku Tengger
tidak berbeda jauh dengan adat perkawinan orang Jawa hanya saja yang bertindak
sebagai penghulu dan wali keluarga adalah dukun Pandita. Adat menetap setelah
menikah adalah neolokal, yaitu pasangan suami-istri bertempat tinggal di lingkungan
yang baru. Untuk sementara pasangan pengantin berdiam terlebih dahulu
dilingkungan kerabat istri.
-
SISTEM KEKERABATAN
Seperti orang
Jawa lainnya, orang Tengger menarik garis keturunan berdasarkan prinsip
bilateral yaitu garis keturunan pihak ayah dan ibu. Kelompok kekerabatan yang
terkecil adalah keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak.
-
SISTEM KEMASYARAKATAN.
Masyarakat
suku Tengger terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing kelompok
tersebut dipimpin oleh tetua. Dan seluruh perkampungan ini dipimpin oleh
seorang kepala adat. Masyarakat suku Tengger amat percaya dan menghormati dukun
di wilayah mereka dibandingkan pejabat administratif karena dukun sangat
berpengaruh dalam kehidupan masyarakat Tengger. Masyarakat Tengger mengangkat
masyarakat lain dari luar masyarakat Tengger sebagai warga kehormatan dan tidak
semuanya bisa menjadi warga kehormatan di masyarakat Tengger. Masyarakat muslim
Tengger biasanya tinggal di desa-desa yang agak bawah sedangkan Hindu Tengger
tinggal didesa-desa yang ada di atasnya.
MATA PENCAHARIAN
Pada masa
kini masyarakat Tengger umumnya hidup sebagai petani di ladang. Prinsip mereka
adalah tidak mau menjual tanah (ladang) mereka pada orang lain. Macam hasil
pertaniannya adalah kentang, kubis, wortel, tembakau, dan jagung. Jagung adalah
makanan pokok suku Tengger. Selain bertani, ada sebagian masyarakat Tengger
yang berprofesi menjadi pemandu wisatawan di Bromo. Salah satu cara yang
digunakan adalah dengan menawarkan kuda yang mereka miliki untuk disewakan
kepada wisatawan.
KESENIAN
Tarian khas
suku Tengger adalah tari sodoran yang ditampilkan pada perayaan Karo dan
Kasodo. Dari segi kebudayaan, masyarakat Tengger banyak terpengaruh dengan
budaya pertanian dan pegunungan yang kental meskipun sebagian besar budaya
mereka serupa dengan masyarakat Jawa umumnya, namun ada pantangan untuk
memainkan wayang kulit.
No comments:
Post a Comment